Selasa, 18 November 2014

PEMERINTAH MENJEBAK WARGA NEGARA SENDIRI

NEGARA YANG HANCUR

Negara Republik Indonesia memiliki Undang Undang Dasar 1945 . Alinea ke IV Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara wajib memajukan kesejahteraan umum . Kesejahteraan umum bagi rakyat secara menyeluruh. Maka dari itu dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut ditetapkan kebijakan dengan pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan . 

Pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an Pemerintah Pusat memberikan bantuan ternak sapi gaduhan secara bergulir kepada masyarakat petani di pedesaan dengan bimbingan tenaga BUTSI ( sarjana magang ) dan kader inseminasi buatan ( artifisial insemination ) pada dinas peternakan . 

Perjanjian gaduhan sangat sederhana dengan mengadopsi sistem gaduhan sapi / kerbau yang sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat pedesaan, yaitu penggaduh cukup setor seekor anak sapi dari kelahiran pertama atau kelahiran kedua. Sedangkan induk sapi yang diterima pertama kali sepenuhnya menjadi milik  penggaduh yang bersangkutan . Jika induk sapi yang diterima pertama kali mati , tidak ada kewajiban penggaduh mengembalikan kepada pemerintah. Jika tidak bisa bunting dalam satu tahun pertama, maka induk sapi itu akan diganti / ditukar oleh pemerintah . Dengan demikian, di jaman awal orde baru sudah dipraktekkan kebijakan memajukan kesejahteraan umum melalui bantuan ( hibah penuh ) ternak sapi gaduhan dari pemerintah ( eksekutif ) kepada rakyat. 

Capacity building dari eksekutif mengenai kebijakan bantuan ternak sapi gaduhan kepada rakyat diberikan oleh eksekutif kepada jajaran aparat peamanan dan aparat penegak hukum . Dengan demikian dapat diciptakan satunya kesepahaman dari aparat samping ( keamanan dan hukum ) bahwa kebijakan bantuan ternak sapi gaduhan ( hibah murni ) wajib diamankan , tidak hanya oleh internal eskekutif, tetapi juga oleh aparat keamanan di tingkat bawah ( Polsek dan Koramil ) dan aparat penegak hukum ( kejaksaan ) . Semua pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif saling mensinergiskan peran masing-masing untuk satu tujuan nasional yaitu memajukan kesejahteraan umum. Dengan demikian, kesepahaman menjunjung tinggi konstitusi benar-benar dapat dilaksanakan oleh pemerintah .

Rakyat penggaduh tidak pernah ada yang diadili aparat penegak hukum dengan dakwaan telah melampaui kewenangan menyimpangkan perjanjian gaduhan sehingga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan akibat perbuatannya itu dapat merugikan keuangan negara / perekonomian negara sehingga harus dipenjara . Kebijakan pemerintah memajukan kesejahteraan umum benar-benar tercapai dengan bukti adanya peningkatan populasi ternak sapi di tiap daerah Kabupaten / Kotamadya dan diraihnya swasembada pangan di beberapa Kabupaten yang kegiatan agrarisnya sangat menonjol . Kebijakan ini berhasil karena Presiden dengan jajaran kabinet-nya benar-benar menjalankan anggaran ( APBN ) yang ditetapkan bersama-sama DPR RI . Pada waktu jaman itu tidak ada "anggaran aspirasi DPR RI " yang pencairannya melalui mata anggaran yang dititipkan pada kementerian tertentu . DPR RI hanya menjalankan hak budget seiring dengan pengawasan . 

Jika ada persoalan akibat penggaduh kurang / tidak patuh terhadap perjanjian gaduhan, misalnya belum setor anak sapi tetapi induknya sudah dijual tanpa memberitahu / tanpa ijin Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah ( Cq Kepala Dinas Peternakan Kabupaten / Kotamadya ), penyelesaiannya dilakukan secara perdata, dengan kata lain lebih mengutamakan persuasif daripada represif . Sedemikian kasihnya pimpinan pemerintahan ( eksekutif ) kala itu kepada rakyatnya yang hidup dibawah garis kemiskinan . Itulah gambaran pimpinan pemerintahan kala itu , sangat paham bagaimana mengelola negara dan bangsa secara baik untuk memajukan kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan orang perorang atau golongan tertentu .

Setelah jaman reformasi digulirkan sejak tahun 1998 . 

Di era kekuasaan negara dijalankan kabinet Presiden SBY , menteri pertanian tiru-tiru menetapkan kebijakan SMD ( sarjana masuk desa ) atau LM3 sebagaimana yang pernah dijalankan semasa orde baru . Mata anggarannya memang menempel dalam DIPA Kementerian Pertanian , namun untuk pelaksanaan kegiatannya lebih didominasi oleh oknum ANGGOTA DPR RI , artinya pendekatan politis lebih menonjol . Setelah mengkaji kondisi di lapangan, ditemukan hal-hal yang tidak baik, antara lain :
1) Kelompok penggaduh ternak sapi menjadi pihak yang lemah, sebab hak-haknya tidak dijamin secara tegas dan jelas di dalam surat perjanjian gaduhan .
2) Kelompok penggaduh "diakui seolah-olah sudah ada dan telah memelihara ternak secara berkelompok / dengan kandang komunal " , padahal dibentuk secara mendadak bahkan ada yang fiktif belaka .
3) Plafon bantuan dirinci penggunaannya, yaitu paket renovasi kandang, paket pembelian ternak indukan dan paket penyediaan pakan ternak . Tidak ada sama sekali paket untuk biaya hidup penggaduh selama belum ada hasil .
4) Capacity building dari Kementerian Pertanian terhadap Kelompok Penggaduh dan kepada pejabat pendamping teknis dari Pemda atau aparat keamanan dan aparat penegak hukum tidak pernah dilakukan , sehingga dukungan mensukseskan kebijakan dan program gaduhan ternak tidak ada sama sekali . Bupati / Walikota ada yang tidak peduli dengan program ini karena menurut mereka pengelolaan anggarannya tidak sesuai dengan mekanisme pengelolaan keuangan negara yang menjamin terwujudnya hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah . 
5) Addendum perjanjian gaduhan tidak bisa dilaksanakan walaupun terjadi kesulitan dalam mengelola anggaran paket satu dengan anggaran paket lainnya , misalnya anggaran paket pengadaan pakan ternak sudah habis , bagaimana solusinya tidak ada petunjuk dari Kementerian Pertanian . Contoh lain, biaya kandang adalah renovasi bukan membuat unit baru . Padahal biaya paket renovasi kandang tidak cukup untuk membuat unit kandang yang baru . Kalau induk sapi tidak bunting, bagaimana cara menggantinya, juga tidak diatur dalam perjanjian gaduhan . Padahal ketika membeli sapi induk, pengadaannya dilakukan oleh Kementerian dengan oknum anggota DPR RI yang merasa memiliki "anggaran aspirasi itu". Saat dijual harganya jauh dibawah harga saat pengadaan dan tidak cukup untuk membeli sapi induk pengganti . Bagaimana solusinya juga tidak diatur dalam perjanjian gaduhan . 

APARAT PENEGAK HUKUM MENJADI PENGHANCUR PROGRAM GADUHAN TERNAK SAPI 

Sangat berbeda jauh ketika di jaman orde baru bahwa semua aparat negara ( eksekutif, keamanan dan penegak hukum ) saling memahami program gaduhan sapi dalam rangka mensejahterakan rakyat sehingga saling membantu menyelamatkan kebijakan Presiden. 

Di jaman setelah reformasi tahun 1998 , para pimpinan penyelenggara negara justru tidak harmonis, tidak saling memahami bahwa keberadaan mereka sebenarnya untuk memajukan rakyat dan bangsa Indonesia . Yang terjadi sekarang , yaitu dalam melaksanakan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( PTPK ) , jajaran KPK atau jajaran Kepolisian dan jajaran Kejaksaan menjadi PENGHANCUR PEREKONOMIAN NEGARA , PENGHANCUR PROGRAM DAN KEBIJAKAN EKSEKUTIF / PRESIDEN di bidang gaduhan ternak sapi dana APBN . 

Kalau norma, standart, prosedur dan kriteria ( NSPK ) untuk kebijakan program gaduhan ternak sapi kepada kelompok tani dari kementerian pertanian itu ADA KESALAHAN karena substansi perjanjian gaduhannya TIDAK BISA MENJAMIN  penggaduh leluasa menjalankan program gaduhan, tentunya bukan petani penggaduhnya yang salah, kemudian dianiaya aparat penegak hukum dengan dakwaan : telah melampaui kewenangan "mengutak-atik paket bantuan" , sehingga dijerat dengan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 8 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 - KORUPSI .

Kalau kelompok tani penggaduhnya sudah benar-benar riil ( tidak fiktif ) dan sudah maksimal dalam berkayra dalam program SMD , kondisi itu menunjukkan bahwa program gaduhan sudah berhasil . Tetapi kalau kemudian akibat LAPORAN ORANG DENGKI kepada kepolisian atau kejaksaan dan ditanggapi kemudian diacak - acak melalui penyelidikan / penyidikan secara arogan dengan mengatas nama Undang-undang , tindakan itu jelas tidak terpuji dan meremehkan kebijakan (salah) dari kementerian pertanian atau presiden sekaligus . Presiden atau Menteri Pertanian sebagai pengendali program harus bertanggung jawab atas deritanya petani penggaduh yang dinistakan jaksa dan atau polisi . Harus segera mengambil langkah cepat men-STOP arogansi jaksa dan atau polisi yang tidak paham prosedur gaduhan atau tidak paham prosedur melakukan penanganan kasus korupsi . 

Presiden dan DPR RI segera mencabut BAB PERAN SERTA MASYARAKAT yang diakomodasi dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 / UU Nomor 20 Tahun 2001 , sebab prosedur penanganan persoalan yang diduga patut ditindak dengan hukum pidana harus atas dasar REKOMENDASI tertulis dari Ketua BPK RI atau REKOMENDASI KEPALA DAERAH ( Bupati / Walikota ) setelah ketetapan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi ( TPGR ) tidak dipatuhi pihak yang merugikan negara . Kalau rakyat biasa diberi peluang laporan, dapat dipastikan bahwa penanganan perkara akan didasarkan kedengkian antar rakyat , atau antar pejabat pemerintah / pejabat pemerintah daerah dan itu INKONSTITUSIONAL . 

Rakyat kok laporan ???

Syarat laporan yang dapat dipertanggungjawabkan antara lain melampirkan alat bukti awal yang kuat . Apakah mungkin .... rakyat biasa bisa memiliki alat bukti awal yang kuat seperti ketentuan tatacara laporan pengaduan adanya dugaan korupsi ? 

Presiden dan pimpinan lembaga negara harus sadar akan kekeliruan dan penyimpangan dalam praktek pelaksanaan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20 tahun 2001. Presiden akan menyesal manakala terlambat menghentikan kebrutalan jaksa dan polisi serta hakim karena mereka dengan seenaknya mengukum rakyat kecil / petani akibat gaduhan sapi dari kementerian pertanian yang tidak akuntabel . KORUPSI , itu identik dengan KEJAHATAN UANG NEGARA , dan PIKIRAN PUBLIK BERPENDAPAT PELAKUNYA ADALAH PEJABAT-PEJABAT DAN PIHAK YANG DEKAT DENGAN KEKUASAAN . Namun kalau kemudian ditemukan PELAKUNYA ADALAH PETANI biasa , apakah akan dibiarkan tindakan biadab demikian ini ? 

Kasus-kasus gaduhan ternak sapi program kementerian pertanian yang sudah dan sedang disidangkan Pengadilan Tipikor Semarang ada yang berlokasi di Pemalang , Batang , Kabumen, Banyumas . Tidak menutup kemungkinan , jaksa dan polisi lain Kabupaten juga akan brutal dalam menistakan petani penggaduh sapi meniru jaksa / polisi di Kabupaten-kabupaten tersebut di atas. 

Masya-allah ....... Negara kita tidak akan dapat mensejahterakan rakyatnya manakala tiga pemegang kekuasaan ( eksekutif, yudikatif dan legislatif ditambah keamanan ) bersatu , memadukan satu kesepahaman untuk mentaati Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 . 

Ikuti terus : tipikorngamuk.blogspot.com 


Semarang , 19 Nopember 2014 . 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar